Konsultan Perkebunan (Advisor) at PalmCo Indonesia dan Mantan Area Manager Agronomy (Senior) at London Sumatra Indonesia,TBK
Kenapa Sawit Dibenci Masyarakat?
Kamis, 17 Juli 2025 07:42 WIB
Menelusuri akar permasalahannya, dari kacamata orang dalam, bukan sebagai pengamat dari luar industri perkebunan
***
Selama lebih dari tiga dekade saya hidup di tengah-tengah dunia perkebunan kelapa sawit. Dari seorang asisten lapangan hingga menjabat sebagai Area Manager Agronomy di perusahaan besar, saya telah melihat wajah industri ini dari berbagai sisi—mulai dari teknis agronomi hingga dinamika sosial yang sering kali luput dari perhatian.
Perkebunan Sawit dan Masyarakat - Cover
Namun dari semua pengalaman yang saya jalani, satu hal yang paling mengusik pikiran saya adalah: mengapa masih banyak masyarakat yang memandang sawit dengan rasa tidak suka, bahkan benci?
Sawit memang kontroversial. Kehadirannya bisa dibuktikan dengan data, bahwa sawit telah membawa keuntungan finansial ekonomi yang besar, tapi ternyata di sisi lain sawit juga membawa beberapa konflik. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk menelusuri akar permasalahannya, dari kacamata saya sebagai orang dalam, bukan sebagai pengamat dari luar.
Beberapa Alasan yang Menurut Saya Menjadi Akar Permasalahan
1. Awal yang Kurang Berakar
Jika kita ingin mencari akar masalah kebencian masyarakat terhadap perkebunan sawit, kita harus jujur menilik bagaimana sawit pertama kali hadir di banyak wilayah Indonesia. Sayangnya, pada masa awal pembukaan lahan, komunikasi dengan masyarakat lokal sangat minim. Banyak perusahaan—karena dorongan investasi atau regulasi yang longgar di masa itu—langsung mengeksekusi pembukaan lahan berdasarkan izin yang dimiliki, tanpa pendekatan sosial yang memadai.
Saya masih ingat saat awal saya bertugas di Sumatera Utara pada akhir 1980-an. Banyak lahan yang ditanami sawit di atas tanah yang dianggap masyarakat sebagai milik adat, walaupun secara hukum perusahaan sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Tapi hukum di atas kertas dan realitas di lapangan seringkali tidak sinkron.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat sudah rusak sejak awal. Mereka melihat sawit sebagai tamu tak diundang yang datang merampas ruang hidup mereka. Meski kemudian perusahaan datang dengan program plasma, bantuan CSR, dan pembangunan infrastruktur, luka sosial yang sudah terlanjur terbentuk tak bisa diobati dalam waktu singkat.
2. Ketimpangan yang Terlihat dan Terasa
Saya tidak akan memungkiri bahwa sektor perkebunan menciptakan lapangan pekerjaan. Tapi kehadiran ekonomi skala besar di tengah desa kecil juga menciptakan kontras sosial yang mencolok. Gedung kantor perkebunan berdiri megah, kendaraan dinas lalu lalang, perumahan staf tertata rapi. Sementara itu, banyak warga desa sekitar masih hidup dengan akses air bersih terbatas dan infrastruktur seadanya.
Kondisi seperti ini mudah menimbulkan perasaan ditinggalkan. Saya pernah berada di posisi manajer kebun di daerah Jawa Timur. Di sana saya melihat sendiri betapa jauhnya jarak emosional antara perusahaan dan masyarakat, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti pengelolaan jalan yang dilalui truk angkut.
Untuk itu, saya mendorong agar setiap unit perkebunan bukan hanya fokus pada produktivitas, tapi juga membangun kehadiran sosial yang nyata: klinik bersama, sumber air bersih, fasilitas pendidikan informal, hingga ruang diskusi rutin dengan tokoh masyarakat. Saya percaya, ketika masyarakat merasa “diperhitungkan”, maka resistensi sosial akan menurun.
3. Komunikasi yang Gagal Diimbangi
Di era media sosial, narasi negatif bisa menyebar lebih cepat dari fakta. Saya paham betul bahwa ada kebun-kebun yang tidak dikelola dengan baik, yang mencemari sungai atau mengabaikan hak buruh. Tapi saya juga melihat banyak kebun yang sangat patuh terhadap regulasi lingkungan, menjaga kawasan konservasi, dan menjalankan prinsip keberlanjutan.
Sayangnya, media dan LSM lebih tertarik pada cerita konflik dibanding praktik baik. Saya tidak menyalahkan mereka sepenuhnya. Ini menjadi pelajaran bagi perusahaan agar lebih aktif membangun narasi sendiri—bukan sekadar klarifikasi ketika sudah viral, tapi membangun hubungan jangka panjang dengan media lokal, akademisi, dan masyarakat sipil.
Saat saya mengundang wartawan dan dosen pertanian untuk berkeliling ke unit yang saya kelola, mereka terkejut melihat kanal air yang bersih, kawasan buffer zone yang terjaga, dan koperasi petani yang aktif. Mereka bilang, “Selama ini kami hanya mendengar yang buruk-buruk saja.” Inilah tantangan kita bersama: membangun komunikasi dua arah yang seimbang.
4. Plasma – Potensi yang Belum Maksimal
Salah satu upaya strategis agar masyarakat merasa memiliki sawit adalah melalui program kemitraan plasma. Secara konsep, ini adalah win-win solution: masyarakat dapat lahan dan hasil panen, perusahaan dapat menjaga suplai bahan baku. Namun, dalam penerapannya di lapangan tidak bisa se-ideal yang diharapkan.
Banyak petani merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Keresahan awal yang lebih sering muncul, yaitu tidak transparannya koperasi plasma dalam melaksanakan pembagian hasil. Di sisi lain, perusahaan sering kewalahan dalam melakukan pendampingan intensif karena keterbatasan tenaga dan waktu.
Saya pernah mendampingi beberapa koperasi plasma di Sumatera Utara dan melihat sendiri bahwa ketika pembinaan berjalan konsisten, hasilnya sangat positif. Petani menjadi lebih disiplin, hasil panen meningkat, dan rasa memiliki terhadap kebun bertumbuh. Dari sini bisa saya simpulkan bahwa: kunci memaksimalkan potensi plasma adalah kemitraan yang setara, bukan hubungan yang terkesan seperti tuan dengan bawahannya.
5. Ketegangan yang Ditunggangi Politik
Isu kebun sawit juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik lokal. Tokoh masyarakat atau elite desa bisa saja memprovokasi warga dengan isu penguasaan tanah, bukan untuk membela rakyat, tapi demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Sebagai praktisi, kami hanya ingin bekerja sesuai regulasi. Namun ketika kebijakan daerah mudah berubah karena tekanan politik, atau izin-izin digunakan sebagai alat tawar, maka iklim kerja menjadi tidak sehat. Ketegangan sosial pun kerap kali tidak murni, tapi ditunggangi banyak kepentingan.
Dalam situasi seperti ini, perusahaan harus cermat dan hati-hati. Pendekatan represif hanya memperkeruh suasana. Sebaliknya, membangun komunikasi dengan tokoh adat, pemuda, dan aparat lokal justru lebih efektif untuk meredam konflik.
6. Identitas dan Persepsi Budaya
Saya pernah berbicara dengan tokoh adat yang mengatakan, “Sawit bukan milik kami, itu milik orang kota.” Pandangan ini mungkin terasa sederhana, tapi mengandung muatan sosiologis yang dalam. Di banyak tempat, sawit dipandang sebagai simbol dominasi luar terhadap masyarakat lokal.
Oleh karena itu, perlu pendekatan budaya dalam membangun narasi bersama. Kita harus hadir tidak hanya sebagai investor, tapi sebagai bagian dari masyarakat. Libatkan masyarakat dalam setiap fase—dari perencanaan, penanaman, hingga pascapanen.
Saya percaya, bila masyarakat dilibatkan, mereka tidak akan lagi menyebut sawit sebagai “tanaman orang lain”, tapi sebagai bagian dari kehidupan mereka sendiri.
Refleksi dan Harapan
Hingga hari ini, saya masih aktif memberi masukan dan pelatihan dalam dunia perkebunan. Dari sudut pandang saya, tentu saja saya menyaksikan dan sudah mempelajari bahwa kebencian yang dituangkan oleh masyarakat ke perkebunan sawit tidak serta-merta muncul begitu saja. Ia tumbuh dari rasa tidak dilibatkan, ketimpangan yang dibiarkan, dan komunikasi yang terputus.
Namun saya juga melihat harapan. Banyak perusahaan kini mulai berubah. Banyak petani muda mulai melihat sawit sebagai peluang. Bahkan generasi baru di perkotaan mulai tertarik menekuni agribisnis karena potensinya yang luar biasa.
Saya yakin, konflik sosial bukan takdir dari industri sawit. Ia adalah masalah komunikasi, kesetaraan, dan kepemimpinan. Jika semua pihak—perusahaan, pemerintah, LSM, dan masyarakat—bersedia duduk bersama dalam transparansi dan saling percaya, maka sawit tidak akan lagi dibenci. Ia akan menjadi kebanggaan bersama.
Sawit bukan sekadar komoditas. Ia bisa menjadi jembatan kemajuan—asal dikelola dengan hati, ilmu, dan tanggung jawab sosial yang tinggi.

Konsultan Perkebunan (Advisor) at PalmCo Indonesia
0 Pengikut

Lima Tanaman Pertanian Paling Menguntungkan yang Bisa Saingi Sawit
Sabtu, 6 September 2025 09:42 WIB
Strategi Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Selasa, 12 Agustus 2025 15:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler